Divestasi 51% Saham Freeport Harus Tuntas Sebelum 2021
Baturaja Radio - Pemerintah mengharapkan divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia bisa
selesai sebelum kontrak mereka berakhir pada 2021. Perusahaan tambang
asal Amerika Serikat itu diklaim telah menyetujui permintaan divestasi
tersebut.
”Iya, saya lihat begitu (setuju divestasi). Ya, bagaimana enggak
setuju, itu kan milik bangsa Indonesia. Kita kan ingin baik-baik.
Sebelum itu (2021) kami harap bisa,” ujar Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, di Jakarta.
Sementara itu, pemerintah menyebut Freeport Indonesia juga telah
menyepakati penetapan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang
bersifat sementara dengan tenggat waktu delapan bulan, yakni sejak 10
Februari hingga 10 Oktober 2017.
Selama periode itu, kedua belah pihak akan melanjutkan
perundingan antara lain mengenai ketentuan stabilitas investasi,
keberlangsungan operasi Freeport, divestasi saham, dan pembangunan
fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral (smelter ).
Tim perunding terdiri atas Kementerian ESDM, Kementerian
Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri serta Pemerintah
Daerah Papua.
Mengenai IUPK yang bersifat sementara, Luhut menegaskan bahwa hal
itu bukan untuk menghindari ancaman arbitrase dari Freeport. Dia
menegaskan bahwa pemerintah mendahulukan upaya negosiasi untuk
menyelesaikan perselisihan dengan produsen emas dan tembaga tersebut.
”Kan sudah saya bilang berkali-kali, kami mau melakukan dengan
baik-baik, enggak usah ribut-ribut,” tandasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Teguh Pamudji menjelaskan, keluarnya IUPK sementara
membuat Freeport bisa kembali mengekspor konsentrat selama periode yang
telah ditentukan dengan membayar bea keluar.
Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan bahwa pemerintah bukan
mengeluarkan IUPK sementara bagi Freeport. Namun, jelas dia, yang
diberikan pemerintah adalah izin ekspor sementara. ”Yang menjadi
sementara itu selalu izin ekspornya, karena setiap enam bulan kita akan
review,” kata Jonan, seusai menghadap Presiden Joko Widodo di Istana
Kepresidenan, kemarin.
Menteri ESDM mengungkapkan bahwa pada awalnya Freeport menolak
menerima perubahan dari kontrak karya ke IUPK. Namun, setelah berunding
selama tiga bulan akhirnya perusahaan pertambangan dari Amerika Serikat
itu menerimanya. ”Karena, kalau tidak menerima perubahan KK menjadi
rezim izin, yaitu IUPK, ya tidak bisa ekspor,” kata Jonan.
Mantan Menteri Perhubungan ini menjelaskan bahwa tidak harus
semua pemegang kontrak karya wajib mengubah kesepakatannya dengan
pemerintah menjadi IUPK, yakni jika perusahaan sudah memiliki fasilitas
pengolahan dan pemurnian.
”Sebenarnya tidak harus kalau pemegang kontrak karya sudah
membuat kegiatan pengolahan dan pemurnian. Itu tetap izinnya kontrak
karya enggak apa-apa, sampai kontraknya berakhir,” ungkap Jonan.
Menteri ESDM mencontohkan banyak perusahaan tambang mineral logam
yang mempertahankan kontrak karya, tapi mereka tidak harus mengubah
menjadi IUPK karena mereka sudah melakukan usaha pengolahan dan
pemurnian.
Jonan mengatakan bahwa Freeport dalam status kontrak karya tetap
bisa menambang dan menjual hasil ke dalam negeri tidak masalah, namun
tidak bisa ekspor. ”Akhirnya (Freeport) mau sama IUPK. Kita malah kasih
delapan bulan dari Februari atau enam bulan dari sekarang,” kata Jonan.
Dia mengatakan izin ekspor Freeport ini akan dievaluasi terkait
pembangunan smelter . ”Kalau bangun smelter, kita akan cek di lapangan
setiap tiga bulan, kita kirim verifikator independen, cek ada progresnya
enggak,” jelasnya.
Jonan juga mengatakan dalam enam bulan ke depan ini akan
dilanjutkan perundingan masalah perpajakan dan retribusi. ”Termasuk itu.
Kalau nanti setelah enam bulan mereka tidak membuat smelter, tidak ada
progres dan sebagainya, ya kita cabut izin ekspornya. Yang sementara itu
izin ekspor, bukan IUPK,” tandas Jonan (okezone.com)
Tidak ada komentar