Pasang Iklan Berbayar Disini

Pasang Iklan Berbayar Disini

MUI: Ahok Harus Lebih Berhati-hati Sampaikan Pendapat

Baturaja Radio - Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi mengkritisi pernyataan calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berpendapat memilih calon kepala daerah berdasarkan agama melanggar konstitusi. Menurutnya, pendapat itu salah kaprah.

Pernyataan tersebut disampaikan Zainut dalam keterangannya yang diterima detikcom, Senin (13/2/2016) sore. Menurutnya, pernyataan Ahok tersebut perlu diluruskan.

Terkait dengan pendapat Ahok ini, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin lewat akun Twitter-nya @lukmansaifuddin menulis, "Kita bangsa religius yg menjadikan agama sebagai acuan bersikap. Memilih cagub berdasar keyakinan agama sama sekali tak langgar konstitusi." Menurut Zainut, pandangan Lukman itu sudah tepat.

"Menurut saya cuitan beliau justru meluruskan pernyataan saudara Basuki Tjahaja Purnama setelah sepuluh menit kembali menjabat Gubernur DKI Jakarta yang menyatakan bahwa : "memilih orang berdasarkan agama melawan konstitusi". Pernyataan saudara Basuki Tjahaya Purnama sebagai pejabat negara sangat menyesatkan dan hal tersebut menunjukkan bahwa yang besangkutan tidak paham konstitusi negara," ujar Zainut.

Dikatakan Zainut, pendapat Ahok itu sangat berbahaya karena mengatasnamakan konstitusi. Sementara, konstitusi sendiri menurutnya tidak melarang memilih cagub-cawagub berdasarkan agama.

"Jelas dan tegas dalam UUD NRI 1945 pasal 28 E ayat (2) ditegaskan bahwa; Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dan juga dalam pasal 29 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," jelasnya.

Zainut menegaskan, bagi umat Islam, memilih pemimpin (nashbul iman) adalah bagian dari pelaksanaan ajaran agama atau ibadah. Artinya, setiap umat Islam ketika menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada itu hakekatnya merupakan implementasi dari pelaksanaan keyakinan ajaran agama.

"Tidak dilarang jika mendasarkan pilihannya itu pada keyakinan agamanya, karena hal tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi. Justru dijamin oleh konstitusi," ucapnya.

"Jadi kalau saudara BTP sebagai Gubernur DKI mengatakan itu bertentangan dengan konstitusi terus konstitusi yang mana yang dia maksudkan?
Seharusnya saudara BTP sebagai pejabat negara harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat. Ini bukan kali pertama saudara BTP menyampaikan pernyataan yang menimbulkan kontroversi dan berpotensi menimbulkan kegaduhan. Semoga menjadi perhatian serius untuk beliau ke depan," sambungnya menegaskan.

Sebelumnya, Ahok telah menjawab ketika ditanya perihal landasan pendapatnya 'memilih orang berdasarkan agama melawan konstitusi'. Dia menjelaskan hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Pilkada. Dalam Pilkada, tidak boleh menggoreng isu yang menjurus ke kebencian bersentimen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

"UU Pilkada melarang menggunakan SARA," kata Ahok kepada detikcom, Senin (13/2/2017).

Dia tak ingin ada pihak-pihak yang memainkan isu SARA secara politis. Bila ketentuan dalam Undang-Undang Pilkada dilanggar, pihak yang melanggar bisa ditindak oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Patokannya pasal-pasal dalam Undang-Undang Pilkada saja. Bawaslu juga akan mengenakan sanksi (bila ada yang melanggar)," kata Ahok.

Sebelumnya diberitakan, pidato Ahok itu disampaikan saat sertijab dengan Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono di Balai Kota, Sabtu (11/2) lalu. Dia sempat bicara soal pencoblosan Pilgub DKI.

"Bapak-Ibu tahu persis kenapa pilih A, kenapa pilih B, kenapa pilih C. Jadi karena kalau berdasarkan agama, itu juga saya nggak melarang, ya nggak apa-apa, saya nggak mau berdebat soal itu. Karena soal itu, saya disidang. Tapi dapat saya katakan, jika begitu, Anda melawan konstitusi di NKRI jika milih orang berdasarkan agama," ucap Ahok.

Ahok sendiri tak menjelaskan pasal mana dalam UU Pilkada yang dia maksud. Bila menilik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, ada Pasal 69 yang mengatur tentang larangan kampanye. Dalam kampanye dilarang:

a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon bupati, calon wali kota, dan/atau partai politik
c. melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat

Ada 11 poin dalam Pasal 69 ini. Selain Pasal 69 huruf b, yang secara eksplisit menyebut tentang agama, ada Pasal 69 huruf i, yang melarang penggunaan tempat ibadah dan pendidikan.

Dalam Pasal 187, diatur perihal konsekuensi pidana dari pelanggaran Pasal 69. Pihak yang melanggar Pasal 69 huruf a sampai huruf f bisa kena pidana penjara paling singkat tiga bulan atau paling lama 18 bulan, dengan denda Rp 600 ribu sampai Rp 6 juta. Pelanggar Pasal 69 huruf i bisa dikenai pidana paling singkat penjara enam bulan, dengan denda Rp 100 ribu sampai Rp 1 juta.

Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sempat mencuitkan pendapatnya lewat Twitter bahwa memilih berdasarkan agama tidaklah melanggar konstitusi. Meski begitu, Lukman tak menyebut soal konteks apa pendapat itu dikemukakan, apakah menanggapi pernyataan Ahok atau tidak.

"Kita bangsa religius yg menjadikan agama sebagai acuan bersikap. Memilih cagub berdasar keyakinan agama sama sekali tak langgar konstitusi," kata Lukman, mencuit di Twitter lewat akun resminya, @lukmansaifuddin, pada Minggu (12/2/) sekitar pukul 17.30 WIB kemarin.
(https://news.detik.com)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.