Pasang Iklan Berbayar Disini

Pasang Iklan Berbayar Disini

Otak-atik RUU Minuman Beralkohol, Antara Dilarang atau Diatur

Baturaja Radio - Pasca vonis judicial review Mahkamah Agung (MA) pada Juni 2013, Indonesia memiliki kekosongan hukum tentang pengaturan minuman beralkohol. Kini, dalam Prolegnas 2014-2015, muncul RUU untuk mengatur tata niaga minuman beralkohol. Dilarang atau diatur?

Regulasi tata niaga baru ini bernama RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). Menurut ahli perundang-undangan, Dr Bayu Dwi Anggono, nama RUU itu bias dan multitafsir.

"Sangat disayangkan jika pembuat kebijakan tetap mempertahankan judul 'LARANGAN', di samping tidak umum dalam sejarah pembentukan undang-undang di negeri ini menggunakan judul 'LARANGAN', kata 'LARANGAN' juga berimplikasi terhadap penghilangan hak tertentu, salah satunya hak untuk mengkonsumsi dan menikmati produk yang terjamin keamanannya," kata Bayu kepada detikcom, Senin (30/11/2015).

Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember itu berpendapat sebuah UU semestinya memberikan keseimbangan atas jaminan pelaksanaan hak-hak setiap orang yang dijamin dalam UUD 1945. Di mana dalam pelaksanaannya sangat mungkin berbeda satu dengan yang lain.

"Untuk itu pembahasan RUU Minol antara pemerintah dan DPR haruslah diletakkan dalam kerangka melindungi kepentingan semua pihak yaitu masyarakat untuk terhindar dari konsumsi minol yang tidak bertanggungjawab, serta kepentingan produksi dan distribusi minol oleh pelaku usaha yang terkait dengan ribuan pekerja yang dimiliki," ujar Bayu.

Bayu mendorong DPR dan pemerintah menciptakan peraturan yang dapat menciptakan stabilitas keseimbangan hak di masyarakat. Contohnya yaitu membuat model pengendalian dan pengawasan secara ketat. Makna pengendalian dan pengawasan adalah negara melalui perangkatnya bertanggungjawab penuh agar minuman beralkohol yang diproduksi memenuhi standar mutu produksi dan standar keamanan kesehatan.
"Serta hanya dijual kepada mereka yang secara hukum dibolehkan mengonsumsi," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.

Pengendalian dan pengawasan yang ketat terhadap industri minuman beralkohol dapat memiliki dua keuntungan. Yang pertama menghindarkan dampak negatif serta konsumsi yang tidak bertanggungjawab. Yang kedua, produksi minol dapat diarahkan untuk semakin meningkatkan jaminan mutu, jaminan kualitas dan jaminan keamanan produksi Minol yang akan membawa kontribusi terhadap perekonomian nasional.

"Ketentuan dalam RUU Minol yang melarang secara mutlak produksi dan distribusi Minol sementara di sisi lain terdapat norma yang mengatur pengecualian pemanfaatan minol untuk kepentingan terbatas seperti adat, wisatawan dan farmasi adalah bentuk tabrakan norma pengaturan yang akan menyebabkan pelaksanaan UU menjadi tidak efektif," ujar Bayu.

Perumusan RUU Minol oleh pembentuk UU haruslah diletakkan dalam kerangka menyeimbangkan hak dan kewajiban yaitu hak pemanfaatan minol oleh yang berhak secara hukum dengan tujuan tertentu sepanjang memenuhi standar mutu aman.

"Dan kewajiban pengguna minol untuk terikat pada aturan ketentuan konsumsi minol yang bertanggung jawab agar tidak membawa dampak negatif bagi masyarakat sekitarnya," pungkas Bayu.

Sebagaimana diketahui, pada Juni 2013 MA menghapus Keppres Minuman Keras (Miras) Nomor 3/1997. Keppres itu mengatur bahwa minuman mengandung etanol 0-5 persen boleh beredar, 5-20 persen perlu diawasi dan 20-55 persen lebih diawasi lagi. Dengan dihapuskannya Keppres ini, maka minuman keras diatur oleh Perda, bukan oleh pemerintah pusat sehingga secara nasional Indonesia belum mempunyai regulasi tentang tata niaga minuman beralkohol. (detiknews)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.